Kapal yang hampir karam di lautan yang bergelora
Pada suatu saat, saya tengah duduk mendongak ke langit yang luas yang tiada penghujungnya. Fikiran saya di bawa untuk menerawang ke seluruh pelusuk bumi. Betapa langit yang saya lihat di bumi Mesir ini juga dikongsi dan dilihat di tempat lain juga.
Langit ini yang juga menjadi bumbung mereka di Rusia, juga mereka di China, dan juga mereka di Malaysia sendiri. Langit milik ilahilah yang kami berlindung. Tiada penakluk melainkan Allah.
Seusai itu, saya terfikir pula, perjalanan tarbiyyah saya, yang akhirnya bawa saya mengembara hingga ke tanah yang pernah menjadi tanah pijakan Sultan Saifuddin Qutuz. Sultan yang bijaksana dalam memerangi dan memenangi perlawanan menentang tentera Tartar itu.
Jauh juga kakiku berjalan bisik hati kecil ini.
Kemudian hati itu berbisik lagi, hingga akhir hayatkah akan kakiku menapaki jalan para salafus soleh ini? Andai langit yang cerah ini juga mendung dek hujan yang akan turun, apatah lagi iman dalam diri, bukan semestinya akan sentiasa akan di resapi ruh-ruh jihad, pasti akan ada futur dan tenggelam iman itu.
Dan pada saat itu, apa yang akan diri ini lakukan?
berlepas diri?
atau
mengenggam iman itu sehingga ia menyala kembali?
Saya amat menyukai analogi kapal terbang yang hampir karam. Pada saat lampu kecemasan menyala dan isyarat kecemasan berbunyi, dan kita punyai orang tersayang untuk kita selamatkan bersama disamping diri kita, apa tindakan PERTAMA kita waktu itu?
kata pramugari pada awal perjalanan,
"selamatkan diri anda dahulu, kemudian baru orang sekeliling anda"
Andainya saat itu kita merasai, kapal dakwah yang kita naiki itu, hampir karam atau tenggelam. Yang kita harus lakukan adalah menyelamatkan iman diri kita terlebih dahulu untuk bantu menyelamatkan iman-iman orang lain, sekaligus mencari kapal dakwah lain yang dihantar untuk menyelamatkan mangsa-mangsa yang hampir lepas ini.
Jadi berusahalah agar kapal dakwah yang kita naiki itu dijaga dengan baik dan tidak tenggelam malah mampu bertahan sehingga ke destinasi terakhir. Sorga.
Comments